2.1. Klasifikasi Kupu-kupu A. violae
Kupu-kupu (Rhopalocera) termasuk ke dalam filum Arthropoda, divisio Endopterygota, kelas Insekta dan ordo Lepidoptera. Kupu-kupu dikelompokkan dalam dua superfamili yaitu Hesperioidea dan Papilionoidea. Superfamili Hesperioidea terdiri dari satu famili yaitu Hesperiidae. Superfamili Papilionoidea terdiri dari beberapa famili yaitu Papilionidae, Pieridae, Nymphalidae, Lycaenidae, Riodinidae, Satyridae, Amathusiidae, Libytheidae, dan Danaidae (Corbet and Pendlebury, 1956). Salah satu spesies dari famili Nymphalidae adalah A. violae dengan klasifikasi menurut Kunte (2006) adalah:
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Insekta
Subkelas : Pterygota
Ordo : Lepidoptera
Superfamili : Papilionoidea
Famili : Nymphalidae
Subfamili : Heliconiinae
Genus : Acraea
Spesies : Acraea violae
(Sumber: Fabricius. 1793)
2.2. Morfologi Acraea violae
a. Telur
Telur kupu-kupu berukuran kecil yaitu sekitar 1-2 mm, warna dan bentuknya beragam, ada yang seperti kubah, setengah bulatan dan bulat. Bagian bawah selalu rata, dan bagian atas terdapat lubang kecil yang disebut dengan mikropil yaitu tempat spermatozoid masuk ke dalam telur. Cangkang telur bertekstur halus dan ada yang terpahat (Amir dan Kahono, 2003). Telur A. violae berwarna kuning dan agak memanjang dengan cangkang yang terpahat seperti ukiran. Telur diletakkan secara berkelompok pada permukaan atas atau bawah daun tumbuhan inangnya dengan jarak yang teratur dan berjumlah sekitar 20 sampai 100 butir (Kunte, 2006). Telur direkatkan pada daun tumbuhan dengan kelenjar yang dihasilkan oleh kupu-kupu betina (Mastright dan Rosariyanto, 2005).
b. Larva (ulat)
Larva kupu-kupu berbentuk silindris (erusiform), tetapi pada famili Lycaenidae bentuknya agak pipih. Saat baru menetas larva berukuran sangat kecil, panjangnya sekitar 2-3 mm. Tubuh larva dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu caput (kepala), toraks (dada) dan abdomen (perut). Tubuh terdiri dari tiga ruas di bagian toraks dan 10 ruas dibagian abdomen, terdapat sepasang tungkai sejati pada tiap ruas toraks dan tungkai palsu (proleg) pada abdomen (Gambar 2). Proleg digunakan untuk berjalan atau menggantung pada subtrat. Pada bagian sisi segmen toraks dan abdomen terdapat sepasang lubang spirakel yang berguna untuk pernafasan (Amir dan Kahono, 2003). Larva A. violae dewasa berwarna coklat tua mengkilat pada bagian sisi atas dan putih kekuningan pada bagian bawahnya, kepala berwarna coklat kemerahan. Pada segmen tubuh terdapat sejumlah duri bercabang. Larva mengeluarkan cairan berwarna kuning sebagai perlindungan diri dari serangan predator (Kunte, 2006).
c. Pupa (kepompong)
Pupa kupu-kupu bentuknya seringkali berlekuk atau tidak rata dan warnanya beragam (Borror, Triplehorn and Johnson, 2005). Pupa menempel pada subtrat dengan bantuan juluran ujung posterior (kremaster). Disamping itu, terdapat juga serat sutera ditengah sebagai penyangga tubuh selama berada pada stadia pupa. Pupa A. violae berwarna putih dengan garis-garis hitam, dalam garis-garis tersebut ada serangkaian titik berwarna oranye. Pupa dikaitakan secara horizontal oleh kremaster pada bagian batang atau daun tumbuhan (Kunte, 2006).
d. Imago (dewasa)
Tubuh kupu-kupu dewasa terbagi menjadi tiga bagian yaitu caput, toraks dan abdomen. Pada caput terdapat sepasang antena yang panjang dan membesar pada ujungnya yang berfungsi sebagai peraba dan perasa, dan lidah bergulung (probosis) yang berfungsi untuk menghisap makanan (Mastright dan Rosariyanto, 2005). Kupu-kupu memiliki sepasang mata majemuk (compound eye) yang berfungsi untuk mengendalikan gerakan (Braby, 2000).
Toraks kupu-kupu terbagi menjadi tiga segmen yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Protoraks merupakan segmen terkecil dan terletak pada segmen terdepan dari toraks. Segmen kedua adalah mesotoraks yang merupakan segmen terbesar. Segmen yang ketiga adalah metatoraks. Pada masing-masing segmen terdapat sepasang tungkai. Pada mesotoraks dan metatoraks terdapat sepasang sayap (Gambar 4) (Braby, 2000).
Abdomen merupakan bagian yang lebih lunak dibandingkan caput dan toraks. Abdomen terdiri dari 10 segmen yang terdiri dari tergum pada bagian dorsal dan sternum pada bagian ventral. Pada segmen pertama sampai ketujuh abdomen terdapat bukaan (spirakel) yang berfungsi sebagai jalan masuknya udara. Dua atau tiga segmen terakhir abdomen mengalami modifikasi membentuk alat genitalia. Alat genitalia eksternal jantan dan betina serta saluran alat kelamin betina sering dipergunakan sebagai karakter identifikasi jenis kupu-kupu (Braby, 2000).
Imago A. violae memiliki panjang sayap sekitar 50-60 mm. Bentuk sayapnya khas dengan warna kecoklatan sampai oranye, sayap depan panjang, tetapi luas dan membulat pada bagian apexnya, dan sayap belakang membulat. Kedua pasang sayap berwarna kecoklatan sampai oranye dengan pinggiran hitam dan semitransparan, pada sayap belakang warna hitam tersebut lebih luas dan di dalamnya terdapat serangkaian bintik-bintik putih. Thorak kecil, abdomen panjang dan sempit. Alat kelamin berwarna cokelat kecil dengan bercak hitam. Kupu-kupu betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dan warna sayap yang lebih pucat dibandingkan dengan kupu-kupu jantan. Sama seperti larva, kupu-kupu dewasa juga mengeluarkan cairan kuning sebagai perlindungan dari serangan predator (Kunte, 2006).
2.3. Siklus Hidup
Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu memiliki empat stadia dalam hidupnya yang terdiri dari telur (ovum), ulat (larva), kepompong (pupa), dan kupu-kupu dewasa (imago) (Gullan and Cranston, 2000). Waktu yang dibutuhkan oleh kupu-kupu dalam siklus hidupnya bervariasi, tergantung pada suhu lingkungan. Suhu yang lebih panas menyebabkan telur kupu-kupu cepat menetas dan jenis kupu-kupu yang ukurannya lebih kecil dapat menetas dalam waktu yang relatif cepat (Carey-Hughes and Pickford, 1997).
Siklus hidup A. violae dimulai dari telur yang diletakkan secara berkelompok pada tumbuhan inang oleh kupu-kupu betina, telur diletakkan pada bagian atas atau bawah permukaan daun. Setelah beberapa hari telur berubah menjadi larva. Larva yang baru menetas berukuran sangat kecil. Larva hidup berkelompok dan memakan daun tumbuhan inangnya (Kunte, 2006). Stadia larva adalah fase makan yang intensif karena sebagian besar pertumbuhan tubuh kupu-kupu terjadi pada fase larva. Larva mengalami pergantian kulit, yaitu kulit lama dilepaskan dan diganti dengan kulit baru yang ukurannya sesuai. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi kulit yang tidak elastis, pada waktu larva menjadi besar. Pergantian kulit ini ditandai dengan adanya sisa cangkang kepala (exuviae). Fase diantara pergantian kulit dikenal dengan istilah instar. Jumlah instar pada larva tidak konstan yang terdiri dari 5-7 instar (Chapman, 1982).
Pupa adalah masa tidak makan dan merupakan masa reorganisasi serta transformasi organ-organ calon imago (Braby, 2000). Untuk meletakkan diri pada substrat, pupa memiliki serat-serat sutera yang dihasilkan oleh larva dari kelenjar sutera (Mastright dan Rosariyanto, 2005). Pupa A. violae memanjang dan digantung bebas tanpa penyangga (Kunte, 2006). Fase pupa merupakan suatu periode tidak bergerak, namun pupa A.violae melakukan gerakan berkejang apabila terganggu (Carey-Hughes and Pickford, 1977).
Stadia setelah pupa adalah imago. Imago A.violae keluar dari pupa dengan membuka bagian bawah pupa. Selanjutnya dengan tungkai depan berpegang pada substrat lalu menarik diri keluar dari pupa yang basah. Saat pertama keluar dari pupa, sayap imago masih basah dan terlipat. Imago yang baru keluar dari pupa akan mengeluarkan cairan kuning dari abdomennya, kemudian mengeringkan tubuh dengan mengepak-ngepakan sayapnya. Kupu-kupu dewasa yang baru muncul berada dekat dengan tumbuhan inang yang dimakan dalam tahap larva, kemudian mencari pasangan dan kawin (Kunte, 2006).
2.4. Habitat dan Penyebaran
Kupu-kupu A. violae banyak ditemukan pada daerah terbuka seperti padang rumput, taman, semak belukar, hutan primer dan sekunder yang terbuka, kupu-kupu ini cenderung menghindari kawasan yang ternaungi dengan vegetasi yang padat. Umumnya melimpah pada daerah dataran rendah, namun di India dan Sri Lanka pernah ditemukan hingga ketinggian 2.100 meter dpl. Keberadaan kupu-kupu ini bersifat musiman, tetapi ditemukan sepanjang tahun khususnya pada sebelum atau saat musim hujan. Penyebarannya mulai dari kawasan India, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaysia, Singapura dan Kepulauan Indonesia (Kunte, 2006).
2.5. Pakan
Kupu-kupu A.violae sering terbang disekitar tumbuhan semak dan herba untuk mencari tumbuhan berbunga. Kupu-kupu jantan maupun betina menghisap nektar dari bunga tumbuhan seperti Lantana camara, Tridax procumbens, Stachytarpheta jamaicensis, Tribulus terrestris, Vitex negundo, Vitex agnus, Tarchonanthus sp, Tagetes sp dan bunga liar atau budidaya lainnya. Tumbuhan inang bagi larvanya adalah dari famili Loganiaceae, Cucurbitaceae dan Passifloraceae (Passiflora edulis, P. foetida, P. subpeltata, P. siamica, Adenia cardiophylla dan A. hondala) (Kunte, 2006). Tumbuhan ini mengandung racun yang diasingkan oleh larva kemudian diwariskan pada kupu-kupu dewasa dalam bentuk cairan kuning yang dikeluarkan kupu-kupu untuk perlindungan terhadap predator (Jeremy, Holloway, Geofficy and Peggie, 1991).
2.6. Dinamika Populasi
Kehidupan serangga khususnya kupu-kupu sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan tempat hidupnya. Hubungan ini terjadi apabila kupu-kupu mengadakan kontak langsung dengan lingkungan yang sifatnya berubah-ubah. Suatu ciri khas dari populasi adalah berubah-ubah dalam jumlah individu. Studi khusus yang membahas hubungan antara perubahan jumlah organisme dalam suatu populasi dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya disebut dengan dinamika populasi (Solomon, 1977).
Naik turunnya populasi serangga dalam suatu areal tertentu ditentukan oleh dua faktor yaitu kemampuan hayati atau potensi biotik dan hambatan lingkungan. Potensi biotik meliputi siklus hidup, sex ratio, dan keperidian. Siklus hidup yaitu lamanya waktu perkembangan serangga mulai telur hingga serangga tersebut meletakkan telur untuk pertama kalinya. Semakin pendek siklus hidup maka perkembangan populasi serangga akan sernakin cepat. Sex ratio adalah perbandingan serangga jantan dan betina, sermakin banyak betina yang dihasilkan akan semakin cepat populasi serangga tersebut berkembang, dan keperidian yaitu jumlah telur yang diproduksi oleh seekor betina, tentunya sernakin tinggi tingkat keperidian, maka akan sermakin cepat populasi serangga tersebut berkembang (Dadang, 2006).
Secara teoritis, populasi suatu organisme meningkat secara cepat sehingga dalam waktu singkat populasi tersebut dapat menutup seluruh permukaan bumi ini. Tetapi pada kenyataannya di alam tidak terjadi demikian, sebab ada berbagai bentuk faktor penghambat yang disebut dengan hambatan lingkungan. Hambatan lingkungan adalah berbagai faktor abiotik dan biotik di ekosistem yang cenderung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populasi suatu organisme. Faktor tersebut menghalangi organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya (Untung, 1993).
Hambatan lingkungan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) dan dari dalam populasi (intrinsik). Faktor ekstrinsik terdiri dari faktor biotik seperti makanan, predasi, kompetisi, parasitisme, patogen dan faktor abiotik meliputi curah hujan, suhu, temperatur, kelembaban dan lain-lain. Sedangkan faktor intrinsik misalnya berupa persaingan intraspesifik dalam bentuk territorialitas dan tekanan sosial (Untung, 1993).
Untuk menggambarkan tentang perkembangan, kelangsungan hidup, produktivitas atau kesuburan induk betina pada suatu kelompok dan menyajikan data dasar parameter pertumbuhan populasi digunakan tabel kehidupan (life table). Tabel kehidupan dihasilkan dari data lapangan dan digunakan untuk mengestimasi kemampuan adaptasi populasi yang dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik (Gabre, Adham and Hsin chi, 2005). Kelahiran dan kematian dapat ditabulasi dengan menggunakan tabel kehidupan yang juga merupakan ringkasan pernyataan yang memuat tipe kehidupan individu dari populasi atau kelompok individu, sehingga harapan hidup individu dapat diperhitungkan (Price, 1984).